KH Jawahir Dahlan, Pemilik Suara Nabi Daud
Selasa 10 Juli 2018 21:30 WIB
Suatu ketika, Pondok Buntet Pesantren dan pesantren yang diasuh oleh KH Tb
Ma'mun Banten mengadakan pertukaran santri. Buntet Pesantren mengirimkan empat
utusannya, yakni KH Muhammad Hasyim Manshur, Kiai Amari, Kiai Abdur Rouf, dan
KH Jawahir Dahlan. Sementara itu, Banten mengirimkan beberapa utusannya, di
antaranya KH Tb Shaleh Ma'mun dan KH Tb Manshur Ma'mun. Utusan Banten takhassus
ilmu tajwid kepada KH Abbas Abdul Jamil dengan mengaji kitab Hirzul Amani wa
Wajhut Tahani atau yang dikenal dengan Matan Asy-Syatibiyah. Sementara itu,
delegasi Buntet Pesantren memperdalam ilmu tilawatil Qur'an kepada KH Tb Ma'mun.
Pasalnya, kiai yang akrab disapa Tubagus Ma'mun itu merupakan seorang yang
memiliki suara yang sangat indah. Pernah suatu ketika ia diminta untuk memimpin
shalat. Tetapi, suaranya itu membuat makmumnya terbuai sehingga ia dilarang
untuk kembali mengimami. "Beliau cuma satu kali mimpin salat. Setelah itu
diharamkan sama raja karena saking indahnya suara beliau, jamaah itu jadi
hilang konsentrasi," kata Tubagus Soleh Mahdi, cicit Tubagus Ma'mun,
sebagaimana dilansir Radar Banten pada Jumat (25/5). Tak ayal, sosok Jawahir
muda mulai dikenal sebagai seorang qari yang mampu membuat pendengarnya
meresapi ayat-ayat Al-Qur'an yang ia baca. Di usianya yang belum genap
menginjak tiga puluh tahun, ia diundang oleh KH Abdul Wahid Hasyim yang saat
itu menjabat sebagai menteri agama. Bersama para qari dan hafiz dari berbagai
daerah, mereka merumuskan pendirian Jam'iyyatul Qurra wal Huffazh (JQH).
Jawahir muda tercatat menjadi salah satu anggota pengurus Pengurus Besar JQH
periode 1951-1953. Setelah itu, rupanya ia lebih aktif untuk mengembangkan JQH
di wilayah Jawa Barat. Kepiawaiannya dalam melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an
itu mendorong pemerintah melalui Menteri Agama memberinya syahadah syarif
bersama 14 qari lainnya. Bahkan, seorang bernama M Khoezai dari Taman,
Pemalang, menyebut dirinya sebagai pemilik suara Nabi Daud, dalam pengantar
suratnya yang ditulis pada tanggal 5 Shafar 1361 H. شَقِيْقُ رُوْحِيْ الْاَخُ
الْاَعِزُّ اَحْمَدْ جَوَاهِرْ صَاحِبُ الصَّوْتِ الدَّاوُدِيْ الَّذِيْ سَكَنَتْ
لَهُ الرِّيْحُ وَ الْبَوَادِيْ وَ دَافَعَتْ لِسِمَاعِهِ الْمِيَاهُ فِي
الْوَادِيْ Belahan jiwaku, saudara yang mulia, Ahmad Jawahir, pemilih suara
Daud yang karenanya, angin dan padang pasir begitu tenang dan air yang di
lembah pun melambat alirannya karena mendengarnya. Pada tahun 1960, ia pernah
diundang untuk menjadi pembaca Al-Qur'an di Istana Negara pada peringatan malam
Nuzulul Qur'an. Hal ini berdasar surat dari Koordinator Urusan Agama Daerah
Karesidenan Tjirebon itu melampirkan sebuah salinan interlocal dari Kementerian
Agama Jakarta tertanggal 12 Maret 1960, pukul 10.00 pagi. Berikut isi
interlocal tersebut (telah disesuaikan dengan Ejaan Bahasa Indonesia).
"Menteri Agama minta agar Sdr. K. Djawahir Dahlan di Pesantren Buntet
Cirebon, supaya datang ke Jakarta, buat kepentingan membaca Al-Qur'an pada
waktu perayaan Nuzulul Qur'an di Istana Negara, yang akan diselenggarakan pada
malam Rabu tanggal 15 ke 16 Maret 1960, harus datang di Jakarta lebih dulu
tertanggal 14 Maret 1960." Selain melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, di
kemudian hari ia juga diundang untuk berceramah. KH Masrur Ainun Najih, Wakil
Ketua PP Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI), mengaku kepada penulis (2015) pernah
diajak untuk menemaninya ke Lampung. Di samping itu, salah seorang muridnya
yang menjadi muazin Masjid Agung Buntet Pesantren, H Mursyid, juga menyatakan
kepada penulis pada Jumat (15/6/2018) bahwa dirinya pernah diajak Kiai Jawahir
berkeliling dari puncak dataran tinggi hingga ke pinggir laut selatan guna
berceramah. H Mursyid tidak hanya menemaninya saja, tetapi diminta untuk
melantunkan kasidah-kasidah. Didi, seorang warga Ciamis, Jawa Barat, pada Senin
(18/6/2018) bercerita kepada penulis bahwa ia pernah mendengar Kiai Jawahir
berceramah sampai jam dua pagi. Menurutnya, ia tidak bosan mengikuti ceramahnya
hingga selesai mengingat selain ceramah, Kiai Jawahir juga mengajak serta grup
kasidahnya. Abah Jawahir, sapaan akrab anak cucunya, juga pernah menolak
undangan mengaji pada bulan Ramadhan. Hal ini tercatat pada surat yang ia
tujukan kepada H Kosasih di Bandung. Surat yang tertulis pada tanggal 3 Maret
1961 itu berisi beberapa alasan penolakan dan tawaran penggantinya. Ia menolak
karena setiap Ramadhan tiba, ia menerima banyak orang yang sengaja datang untuk
memperbaiki bacaan Al-Qur'annya hanya pada bulan tersebut atau biasa disebut
ngaji pasaran. Mayoritas dari mereka adalah ustadz yang mengajarkan Al-Qur'an
di desanya masing-masing. Di samping itu, kesehatannya yang sedang menurun juga
membuatnya mengurungkan niat untuk dapat memenuhi panggilan tersebut. Meskipun
demikian, ia mengutus putrinya Siti Zainab, muridnya Syihabuddin dari Sumedang,
dan kakaknya Nyai Karimah. Kepada tiga orang yang mengundangnya, H Kosasih, H
Memen, dan Kanda Yusuf, Kiai Jawahir meminta agar dapat memberi hadiah khusus
untuk putrinya sebagai kebahagiaan menyambut Idul Fitri. Kelak, Siti Zainab
dipersunting oleh KH Abdullah Abbas sebagai istrinya. Jadi Juri MTQ Kiai
Jawahir juga pernah menjadi juri Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) yang pertama
kali digelar. Hal ini tercatat pada Surat Keputusan bernomor 75/OC/KF/62/1/65.
Saat itu, gelaran dilakukan oleh Organisasi Islam Asia Afrika (OIAA) yang
dipimpin oleh KH Ahmad Syaichu bekerja sama dengan PP Jamiyyatul Qurra wal
Huffazh. Kiai kelahiran tahun 1921 itu kembali menjadi juri pada MTQ Nasional
kedelapan di Palembang tahun 1975. Entah apakah ia tidak menjadi juri pada
gelaran MTQN pertama di Sulawesi Selatan hingga MTQN ketujuhnya. Sebab, penulis
hanya menemukan dokumentasi MTQN kedelapan tahun 1975 di rumahnya meliputi surat
keputusan penetapannya sebagai juri, sertifikat penghargaan dari Menteri Agama
Mukti Ali, peraturan, sampai kartu makannya. Kiai Jawahir meninggal menjelang
Subuh di rumahnya di sebelah barat Masjid Agung Buntet Pesantren. Sementara
itu, untuk mengenang jasanya, nama KH Jawahir Dahlan dijadikan nama jalan yang
menuju rumah peninggalan orang tuanya yang terletak di Desa Buntet di seberang
pusat komplek Buntet Pesantren. (Syakir NF) Tags: #qari #kiai
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/92733/kh-jawahir-dahlan-pemilik-suara-nabi-daud
Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/92733/kh-jawahir-dahlan-pemilik-suara-nabi-daud
Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id
KH Jawahir Dahlan,
Pemilik Suara Nabi Daud
Selasa 10 Juli 2018 21:30 WIB
Bagikan:
KH Jawahir Dahlan, Pemilik Suara Nabi Daud
KH Jawahir dan Nyai Aisyah
Suatu ketika, Pondok Buntet Pesantren dan pesantren yang diasuh oleh KH
Tb Ma'mun Banten mengadakan pertukaran santri. Buntet Pesantren
mengirimkan empat utusannya, yakni KH Muhammad Hasyim Manshur, Kiai
Amari, Kiai Abdur Rouf, dan KH Jawahir Dahlan. Sementara itu, Banten
mengirimkan beberapa utusannya, di antaranya KH Tb Shaleh Ma'mun dan KH
Tb Manshur Ma'mun.
Utusan Banten takhassus ilmu tajwid kepada KH Abbas Abdul Jamil dengan
mengaji kitab Hirzul Amani wa Wajhut Tahani atau yang dikenal dengan
Matan Asy-Syatibiyah. Sementara itu, delegasi Buntet Pesantren
memperdalam ilmu tilawatil Qur'an kepada KH Tb Ma'mun. Pasalnya, kiai
yang akrab disapa Tubagus Ma'mun itu merupakan seorang yang memiliki
suara yang sangat indah. Pernah suatu ketika ia diminta untuk memimpin
shalat. Tetapi, suaranya itu membuat makmumnya terbuai sehingga ia
dilarang untuk kembali mengimami.
"Beliau cuma satu kali mimpin salat. Setelah itu diharamkan sama raja
karena saking indahnya suara beliau, jamaah itu jadi hilang
konsentrasi," kata Tubagus Soleh Mahdi, cicit Tubagus Ma'mun,
sebagaimana dilansir Radar Banten pada Jumat (25/5).
Tak ayal, sosok Jawahir muda mulai dikenal sebagai seorang qari yang
mampu membuat pendengarnya meresapi ayat-ayat Al-Qur'an yang ia baca. Di
usianya yang belum genap menginjak tiga puluh tahun, ia diundang oleh
KH Abdul Wahid Hasyim yang saat itu menjabat sebagai menteri agama.
Bersama para qari dan hafiz dari berbagai daerah, mereka merumuskan
pendirian Jam'iyyatul Qurra wal Huffazh (JQH). Jawahir muda tercatat
menjadi salah satu anggota pengurus Pengurus Besar JQH periode
1951-1953. Setelah itu, rupanya ia lebih aktif untuk mengembangkan JQH
di wilayah Jawa Barat.
Kepiawaiannya dalam melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an itu mendorong
pemerintah melalui Menteri Agama memberinya syahadah syarif bersama 14
qari lainnya. Bahkan, seorang bernama M Khoezai dari Taman, Pemalang,
menyebut dirinya sebagai pemilik suara Nabi Daud, dalam pengantar
suratnya yang ditulis pada tanggal 5 Shafar 1361 H.
شَقِيْقُ رُوْحِيْ الْاَخُ الْاَعِزُّ اَحْمَدْ جَوَاهِرْ صَاحِبُ
الصَّوْتِ الدَّاوُدِيْ الَّذِيْ سَكَنَتْ لَهُ الرِّيْحُ وَ الْبَوَادِيْ
وَ دَافَعَتْ لِسِمَاعِهِ الْمِيَاهُ فِي الْوَادِيْ
Belahan jiwaku, saudara yang mulia, Ahmad Jawahir, pemilih suara
Daud yang karenanya, angin dan padang pasir begitu tenang dan air yang
di lembah pun melambat alirannya karena mendengarnya.
Pada tahun 1960, ia pernah diundang untuk menjadi pembaca Al-Qur'an di
Istana Negara pada peringatan malam Nuzulul Qur'an. Hal ini berdasar
surat dari Koordinator Urusan Agama Daerah Karesidenan Tjirebon itu
melampirkan sebuah salinan interlocal dari Kementerian Agama Jakarta
tertanggal 12 Maret 1960, pukul 10.00 pagi.
Berikut isi interlocal tersebut (telah disesuaikan dengan Ejaan Bahasa
Indonesia).
"Menteri Agama minta agar Sdr. K. Djawahir Dahlan di Pesantren
Buntet Cirebon, supaya datang ke Jakarta, buat kepentingan membaca
Al-Qur'an pada waktu perayaan Nuzulul Qur'an di Istana Negara, yang akan
diselenggarakan pada malam Rabu tanggal 15 ke 16 Maret 1960, harus
datang di Jakarta lebih dulu tertanggal 14 Maret 1960."
Selain melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, di kemudian hari ia juga
diundang untuk berceramah. KH Masrur Ainun Najih, Wakil Ketua PP
Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI), mengaku kepada penulis (2015) pernah
diajak untuk menemaninya ke Lampung. Di samping itu, salah seorang
muridnya yang menjadi muazin Masjid Agung Buntet Pesantren, H Mursyid,
juga menyatakan kepada penulis pada Jumat (15/6/2018) bahwa dirinya
pernah diajak Kiai Jawahir berkeliling dari puncak dataran tinggi hingga
ke pinggir laut selatan guna berceramah. H Mursyid tidak hanya
menemaninya saja, tetapi diminta untuk melantunkan kasidah-kasidah.
Didi, seorang warga Ciamis, Jawa Barat, pada Senin (18/6/2018) bercerita
kepada penulis bahwa ia pernah mendengar Kiai Jawahir berceramah sampai
jam dua pagi. Menurutnya, ia tidak bosan mengikuti ceramahnya hingga
selesai mengingat selain ceramah, Kiai Jawahir juga mengajak serta grup
kasidahnya.
Abah Jawahir, sapaan akrab anak cucunya, juga pernah menolak undangan
mengaji pada bulan Ramadhan. Hal ini tercatat pada surat yang ia tujukan
kepada H Kosasih di Bandung. Surat yang tertulis pada tanggal 3 Maret
1961 itu berisi beberapa alasan penolakan dan tawaran penggantinya.
Ia menolak karena setiap Ramadhan tiba, ia menerima banyak orang yang
sengaja datang untuk memperbaiki bacaan Al-Qur'annya hanya pada bulan
tersebut atau biasa disebut ngaji pasaran. Mayoritas dari mereka adalah
ustadz yang mengajarkan Al-Qur'an di desanya masing-masing. Di samping
itu, kesehatannya yang sedang menurun juga membuatnya mengurungkan niat
untuk dapat memenuhi panggilan tersebut.
Meskipun demikian, ia mengutus putrinya Siti Zainab, muridnya
Syihabuddin dari Sumedang, dan kakaknya Nyai Karimah. Kepada tiga orang
yang mengundangnya, H Kosasih, H Memen, dan Kanda Yusuf, Kiai Jawahir
meminta agar dapat memberi hadiah khusus untuk putrinya sebagai
kebahagiaan menyambut Idul Fitri. Kelak, Siti Zainab dipersunting oleh
KH Abdullah Abbas sebagai istrinya.
Jadi Juri MTQ
Kiai Jawahir juga pernah menjadi juri Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ)
yang pertama kali digelar. Hal ini tercatat pada Surat Keputusan
bernomor 75/OC/KF/62/1/65. Saat itu, gelaran dilakukan oleh Organisasi
Islam Asia Afrika (OIAA) yang dipimpin oleh KH Ahmad Syaichu bekerja
sama dengan PP Jamiyyatul Qurra wal Huffazh.
Kiai kelahiran tahun 1921 itu kembali menjadi juri pada MTQ Nasional
kedelapan di Palembang tahun 1975. Entah apakah ia tidak menjadi juri
pada gelaran MTQN pertama di Sulawesi Selatan hingga MTQN ketujuhnya.
Sebab, penulis hanya menemukan dokumentasi MTQN kedelapan tahun 1975 di
rumahnya meliputi surat keputusan penetapannya sebagai juri, sertifikat
penghargaan dari Menteri Agama Mukti Ali, peraturan, sampai kartu
makannya.
Kiai Jawahir meninggal menjelang Subuh di rumahnya di sebelah barat
Masjid Agung Buntet Pesantren. Sementara itu, untuk mengenang jasanya,
nama KH Jawahir Dahlan dijadikan nama jalan yang menuju rumah
peninggalan orang tuanya yang terletak di Desa Buntet di seberang pusat
komplek Buntet Pesantren. (Syakir NF)
Tags:
#qari
#kiai
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/92733/kh-jawahir-dahlan-pemilik-suara-nabi-daud
Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/92733/kh-jawahir-dahlan-pemilik-suara-nabi-daud
Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id
KH Jawahir Dahlan,
Pemilik Suara Nabi Daud
Selasa 10 Juli 2018 21:30 WIB
Bagikan:
KH Jawahir Dahlan, Pemilik Suara Nabi Daud
KH Jawahir dan Nyai Aisyah
Suatu ketika, Pondok Buntet Pesantren dan pesantren yang diasuh oleh KH
Tb Ma'mun Banten mengadakan pertukaran santri. Buntet Pesantren
mengirimkan empat utusannya, yakni KH Muhammad Hasyim Manshur, Kiai
Amari, Kiai Abdur Rouf, dan KH Jawahir Dahlan. Sementara itu, Banten
mengirimkan beberapa utusannya, di antaranya KH Tb Shaleh Ma'mun dan KH
Tb Manshur Ma'mun.
Utusan Banten takhassus ilmu tajwid kepada KH Abbas Abdul Jamil dengan
mengaji kitab Hirzul Amani wa Wajhut Tahani atau yang dikenal dengan
Matan Asy-Syatibiyah. Sementara itu, delegasi Buntet Pesantren
memperdalam ilmu tilawatil Qur'an kepada KH Tb Ma'mun. Pasalnya, kiai
yang akrab disapa Tubagus Ma'mun itu merupakan seorang yang memiliki
suara yang sangat indah. Pernah suatu ketika ia diminta untuk memimpin
shalat. Tetapi, suaranya itu membuat makmumnya terbuai sehingga ia
dilarang untuk kembali mengimami.
"Beliau cuma satu kali mimpin salat. Setelah itu diharamkan sama raja
karena saking indahnya suara beliau, jamaah itu jadi hilang
konsentrasi," kata Tubagus Soleh Mahdi, cicit Tubagus Ma'mun,
sebagaimana dilansir Radar Banten pada Jumat (25/5).
Tak ayal, sosok Jawahir muda mulai dikenal sebagai seorang qari yang
mampu membuat pendengarnya meresapi ayat-ayat Al-Qur'an yang ia baca. Di
usianya yang belum genap menginjak tiga puluh tahun, ia diundang oleh
KH Abdul Wahid Hasyim yang saat itu menjabat sebagai menteri agama.
Bersama para qari dan hafiz dari berbagai daerah, mereka merumuskan
pendirian Jam'iyyatul Qurra wal Huffazh (JQH). Jawahir muda tercatat
menjadi salah satu anggota pengurus Pengurus Besar JQH periode
1951-1953. Setelah itu, rupanya ia lebih aktif untuk mengembangkan JQH
di wilayah Jawa Barat.
Kepiawaiannya dalam melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an itu mendorong
pemerintah melalui Menteri Agama memberinya syahadah syarif bersama 14
qari lainnya. Bahkan, seorang bernama M Khoezai dari Taman, Pemalang,
menyebut dirinya sebagai pemilik suara Nabi Daud, dalam pengantar
suratnya yang ditulis pada tanggal 5 Shafar 1361 H.
شَقِيْقُ رُوْحِيْ الْاَخُ الْاَعِزُّ اَحْمَدْ جَوَاهِرْ صَاحِبُ
الصَّوْتِ الدَّاوُدِيْ الَّذِيْ سَكَنَتْ لَهُ الرِّيْحُ وَ الْبَوَادِيْ
وَ دَافَعَتْ لِسِمَاعِهِ الْمِيَاهُ فِي الْوَادِيْ
Belahan jiwaku, saudara yang mulia, Ahmad Jawahir, pemilih suara
Daud yang karenanya, angin dan padang pasir begitu tenang dan air yang
di lembah pun melambat alirannya karena mendengarnya.
Pada tahun 1960, ia pernah diundang untuk menjadi pembaca Al-Qur'an di
Istana Negara pada peringatan malam Nuzulul Qur'an. Hal ini berdasar
surat dari Koordinator Urusan Agama Daerah Karesidenan Tjirebon itu
melampirkan sebuah salinan interlocal dari Kementerian Agama Jakarta
tertanggal 12 Maret 1960, pukul 10.00 pagi.
Berikut isi interlocal tersebut (telah disesuaikan dengan Ejaan Bahasa
Indonesia).
"Menteri Agama minta agar Sdr. K. Djawahir Dahlan di Pesantren
Buntet Cirebon, supaya datang ke Jakarta, buat kepentingan membaca
Al-Qur'an pada waktu perayaan Nuzulul Qur'an di Istana Negara, yang akan
diselenggarakan pada malam Rabu tanggal 15 ke 16 Maret 1960, harus
datang di Jakarta lebih dulu tertanggal 14 Maret 1960."
Selain melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, di kemudian hari ia juga
diundang untuk berceramah. KH Masrur Ainun Najih, Wakil Ketua PP
Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI), mengaku kepada penulis (2015) pernah
diajak untuk menemaninya ke Lampung. Di samping itu, salah seorang
muridnya yang menjadi muazin Masjid Agung Buntet Pesantren, H Mursyid,
juga menyatakan kepada penulis pada Jumat (15/6/2018) bahwa dirinya
pernah diajak Kiai Jawahir berkeliling dari puncak dataran tinggi hingga
ke pinggir laut selatan guna berceramah. H Mursyid tidak hanya
menemaninya saja, tetapi diminta untuk melantunkan kasidah-kasidah.
Didi, seorang warga Ciamis, Jawa Barat, pada Senin (18/6/2018) bercerita
kepada penulis bahwa ia pernah mendengar Kiai Jawahir berceramah sampai
jam dua pagi. Menurutnya, ia tidak bosan mengikuti ceramahnya hingga
selesai mengingat selain ceramah, Kiai Jawahir juga mengajak serta grup
kasidahnya.
Abah Jawahir, sapaan akrab anak cucunya, juga pernah menolak undangan
mengaji pada bulan Ramadhan. Hal ini tercatat pada surat yang ia tujukan
kepada H Kosasih di Bandung. Surat yang tertulis pada tanggal 3 Maret
1961 itu berisi beberapa alasan penolakan dan tawaran penggantinya.
Ia menolak karena setiap Ramadhan tiba, ia menerima banyak orang yang
sengaja datang untuk memperbaiki bacaan Al-Qur'annya hanya pada bulan
tersebut atau biasa disebut ngaji pasaran. Mayoritas dari mereka adalah
ustadz yang mengajarkan Al-Qur'an di desanya masing-masing. Di samping
itu, kesehatannya yang sedang menurun juga membuatnya mengurungkan niat
untuk dapat memenuhi panggilan tersebut.
Meskipun demikian, ia mengutus putrinya Siti Zainab, muridnya
Syihabuddin dari Sumedang, dan kakaknya Nyai Karimah. Kepada tiga orang
yang mengundangnya, H Kosasih, H Memen, dan Kanda Yusuf, Kiai Jawahir
meminta agar dapat memberi hadiah khusus untuk putrinya sebagai
kebahagiaan menyambut Idul Fitri. Kelak, Siti Zainab dipersunting oleh
KH Abdullah Abbas sebagai istrinya.
Jadi Juri MTQ
Kiai Jawahir juga pernah menjadi juri Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ)
yang pertama kali digelar. Hal ini tercatat pada Surat Keputusan
bernomor 75/OC/KF/62/1/65. Saat itu, gelaran dilakukan oleh Organisasi
Islam Asia Afrika (OIAA) yang dipimpin oleh KH Ahmad Syaichu bekerja
sama dengan PP Jamiyyatul Qurra wal Huffazh.
Kiai kelahiran tahun 1921 itu kembali menjadi juri pada MTQ Nasional
kedelapan di Palembang tahun 1975. Entah apakah ia tidak menjadi juri
pada gelaran MTQN pertama di Sulawesi Selatan hingga MTQN ketujuhnya.
Sebab, penulis hanya menemukan dokumentasi MTQN kedelapan tahun 1975 di
rumahnya meliputi surat keputusan penetapannya sebagai juri, sertifikat
penghargaan dari Menteri Agama Mukti Ali, peraturan, sampai kartu
makannya.
Kiai Jawahir meninggal menjelang Subuh di rumahnya di sebelah barat
Masjid Agung Buntet Pesantren. Sementara itu, untuk mengenang jasanya,
nama KH Jawahir Dahlan dijadikan nama jalan yang menuju rumah
peninggalan orang tuanya yang terletak di Desa Buntet di seberang pusat
komplek Buntet Pesantren. (Syakir NF)
Tags:
#qari
#kiai
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/92733/kh-jawahir-dahlan-pemilik-suara-nabi-daud
Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/92733/kh-jawahir-dahlan-pemilik-suara-nabi-daud
Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id
1 Komentar
Mantap rekan rekanita
BalasHapus